Saya ingin sedikit berbagi pengalaman. Tentunya bukan pengalaman menarik untuk diamati atau dipahami oleh kalangan muda, paling tidak sebagai bacaan ringan sembari menyeruput kopi hitam khas lokal.
Sebagai anak dari petani kelas terbawah dari masyarakat pedesaan pada umumnya. Tepatnya proletar dari proletariat paling standar, untuk berpikir maju pun sangat menakutkan, terlebih bermimpi tuk jadi Menteri. Sungguh itu adalah kerakusan bermimpi bagi kelas rendah setingkat saya.
Sejak kecil saya punya cita-cita ingin sekali jadi polisi, tapi seiring perkembangan postur tubuh. Yang nampak hanyalah kesenjangan dengan model tubuh yang ideal bila mau jadi polisi. Cita-cita saya terhenti, cukup sampai di situ. Tak ada keberanian lagi melanjutkan harapan ke arah bela negara, karena sudah jelas-jelas, itu adalah kemustahilan. Sementara saya juga tidak mau memelihara kemustahilan. Dan menukar kemustahilan dengan uang pun saya tak sanggup.
Kemudian belakangan saya bermimpi tuk jadi orang hebat, sekelas pemimpin berkedudukan tinggi, atau orang menyebutnya kaum-kaum intelektual yang bijaksana. Tapi ternyata, sungguh beda pemimpin dengan pemimpi. Bekerja, berjuang, bertahan hidup dan belajar tak semudah Drama korea atau Sinetron yang sering kita saksikan di TV.
Sejak saat itulah, saya lebih memilih berkhayal. Menghayal, kan gratis. Kadang juga saya menghayal yang bukan-bukan tentang negeri tercinta Indonesia ini. Tentang saudara sebangsa yang dirampas haknya, dibunuh karena berdiri tegak dan kokoh di atas kebenaran. Atau mengingat mereka yang pernah dipenjara lantaran menolak patuh pada kekuasaan yang kejam.
Tidak banyak yang membicarakan saudara, sepupu dan kawan kita yang miskin itu. Sebab tidak punya uang membayar pengacara sehingga kebenarannya dikhianati oleh hukum, serta tidak mampu menyewa guru hingga harus pasrah dalam kebodohannya, dan paling tidak memilih untuk diam seribu bahasa.
Takutnya terjebak impian, jadi kesimpulan sederhana dari perjalanan pendek yang saya tempuh dalam mengejar cita-cita. Bahwa kebenaran itu adalah, antara berjalan menuju penjara atau jatuh di jurang pengasingan. Seorang filsuf pun akan mengambil satu jawaban dan berusaha merasionalkan jawabannya. Sayangnya, saya bukan filsuf.
Tapi saya kembali pada khayalan. Bahwa yang gratis hanyalah khayalan, tendensi bahayanya pun mungkin agak sedikit kurang. Tapi ada juga yang berkata bahwa, kebenaran itu akan tetap ada, berlipat ganda dan tidak akan hilang seiring melayangnya nyawa. Namun lagi-lagi hal tersebut hanya mengantarkan saya pada alam khayalan.
Benar atau salah, berani serta penakut pun. Yang menentukan tidak lain adalah penguasa. Segala sesuatu yang kita kenali hanyalah secuil dari wujud aslinya, seperti demokrasi. Demokrasi yang kita kenal hanyalah pemilu raya, begipun hukum. Yang akrab dengan kita hanyalah penjara dan penjara, serta begitu pula yang lainnya.
Banyak yang ganjil di negeri yang indah ini. Bila pemuda sudah mulai kehilangan kepercayaannya, tuk bermimpi saja takut. Lalu bagaiman bisa jadi pemimpin tangguh?
Tentu hal tersebut tidak serta-merta terjadi. Melainkan ada kebudayaan yang memberkas pemikiran kita, entah itu lingkungan sekitar atau cuaca yang senantiasa bergonta-ganti mendesain alam pikiran kita sehingga sangat utopis dalam soal bermimpi.
Ketakutan itulah yang saya khawatirkan, maka kembali lagi tuk berkhayal tentang kebebasan, kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkarya. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa khayalan tentang kebebasan tersebut sudah terciderai sejak dalam kandungan
Itulah yang terjadi saat ini. Bahwa kita berada dalam tahap ketakutan (Fear) tentang hari depan, sehingga berkarya pun tidak akan berjalan lancar, terlebih menghasilkan nilai estetika yang mendalam. Bahkan ketakutan itu bila dipaksakan, hanya akan menghasilkan keragu-raguan, apakah kita masih punya pemerintah yang baik atau benar kita hanyalah kelompok spesies yang sudah terancam punah?. Semoga mentari tetap menyinari, memberi kehidupan yang berkelanjutan dan biarkan kegelapan menjelama dalam tubuh patung-patung yang arogan.