AMAN Sinjai -Ketika berbicara mengenai perampasan tanah tentu sudah tidak asing lagi sebab hampir disetiap pelosok nusantara mengalaminya. Fenomena tentang perampasan tanah muncul di seluruh dunia.
Perampasan tanah tersebut sering diwarnai dengan berbagai macam tindakan represif yang dilakukan oleh negara demi industri ekstraktif atau perkebunan skala besar.Dan yang menjadi korban terbanyak dalam hal ini adalah masyarakat adat ataupun masyarakat pesisir hutan, dimana mereka sebagai masyarakat yang telah mendiami wilayahnya sekian ribuan tahun justru tergusur dan terampas tanahnya.
Sungguh ironis dengan kondisi demikian dan pemerintah sibuk melakukan negosiasi- negosiasi terkait kebijakan yang akan berdampak terhadap tanah, hutan dan segala isinya, tanpa perlu tahu apa yang sedang terjadi dengan masyarakat yang tinggal didalam dan di areal sekitar hutan.Memang pola perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan memiliki begitu banyak praktek kekerasan dan kriminalisasi demi kepentingan profitnya semata.
Sudah begitu banyak korban masyarakat adat yang dikriminalisasi misalnya seperti yang telah dialami oleh salah satu masyarakat adat Turungan Kabupaten Sinjai yaitu Bahtiar Bin Sabang yang merupakan salah satu korban dari ribuan kasus terkait dengan perampasan tanah di negara ini, yang mana lahan tempat ia memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya justru diklaim sebagai kawasan hutan dan dipidana dengan pasal merambah kawasan hutan.
Bahtiar pernah mendekam selama 1 Tahun 1 Bulan di Rumah Tahanan. Kini hal serupa yang dialami oleh Masyarakat adat Seko yaitu Pak Amisandi yang dikriminalisasi karena memimpin gerakan mempertahankan wilayah Adat dari perampasan oleh PLTA PT.Seko Power Prima.
Bisa disaksikan bahwa dengan hadirnya proyek-proyek pembangunan raksasa di daerah yang dihuni oleh masyarakat adat ini tidak membawa kedamaian ataupun kesejahteraan sebagai kelompok mayarakat yang dipercaya untuk melestarikan warisan leluhurnya.Yang terjadi hanyalah sebaliknya yaitu tindak kekerasan, teror mayarakat, dan lainnya.
Jadi ini membuktikan bahwa keberadaan perusahaan/proyek-proyek raksasa ini hanya membuat rakyat semakin menderita dan dimiskinkan secara struktural.Dan penyebabnya adalah hak-hak masyarakat adat terhadap tanah dan SDA selalu saja terabaikan dalam pelaksanaan pembangunan dan tidak berbasis ekologi pula.
Masyarakat adat ingin hidup damai ditanah leluhurnya dan memenuhi kebutuhan hidupnya atas wilayahnya serta mempertahankan akan kearifan lokal diwilayahnya sendiri sehingga negara tak perlu lagi melakukan intervensi terlalu dalam terhadap mereka.
Jadi sewajarnyalah ketika berbagai kalangan masyarakat ataupun aktivis manapun selalu menyuarakan tentang perampasan tanah yang tiada henti-hentinya di negeri ini.Perlu kita ketahui bahwa Akar dari ketidakadilan agraria adalah karena politik agraria yang selalu saja meminggirkan rakyat.
Sistem inilah yang selalu menjerat dan mengakibatkan terjadinya penguasaan tanah dan SDA yang tanpa batas oleh kelompok tertentu yaitu penguasa dan pemilik modal.Tindakan pembiaran terhadap ketimpangan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah dan SDA ini justru akan melahirkan konflik agraria yang berkepanjangan di negeri kita ini.
Konflik ini akan terjadi hampir di semua wilayah, Petani ataupun masyarakat adat yang berada di sekitar kawasan yang dikelola oleh perusahaan kerap kali menjadi korban utama.Dikriminalisasi, diintimidasi, diusir dari wilayahnya, dirampas ruang hidupnya menjadi fenomena yang sangat menakutkan yang dilakukan oleh korporasi-korporasi.
Pihak yang terlibat dalam mendukung perampasan tanah mengatakan bahwa hal tersebut merupakan investasi yang sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Tentu hal itu hanya iming-iming yang dilakukan untuk meggunakan strategi dalam merampas ruang-ruang hidup rakyat Sungguh miris dengan hal yang terjadi di negeri ini, perampasan tanah adalah kado terindah dari para penguasa atau dari korporasi untuk masyarakat adat.Betapa tidak bahwa perampasan ini sama halnya dengan melanggar HAM karena perampasan hak.
Sumber :http://www.suarajelata.com/2017/06/masyarakat-adat-dan-perampasan-tanah.html